Sabtu, 23 Juli 2011

Layanan Hukum

  1. Konsultasi Hukum
  2. Pendampingan ke Kepolisian
  3. Mendampingi/mewakili sidang di Pengadilan
  4. Melayani diskusi dengan Pekerja atau Serikat Pekerja seputar Ketenagakerjaan
Para Advokat/Pengacara P2LH Bekasi Memenuhi undangan konsultasi ke Purwakarta dikarenakan keterbatasan warga masyarakat untuk datang ke Sekretariat P2LH Bekasi

Minggu, 30 Januari 2011

PENYULUHAN HUKUM TENTANG "PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA"

Kegiatan P2LH Bekasi berupa Penyuluhan Hukum "Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga"


SEKILAS TENTANG UNDANG-UNDANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh: Evi Risna Yanti, S.H.,

Disampaikan dalam Penyuluhan Hukum Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian dan Layanan Hukum Bekasi (P2LH Bekasi) tanggal 2 Januari 2011, Wisma Citra – Kota Bekasi

Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 Pasal, yang diharapkan dapat menjadi paying perlindungan hokum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang-Undang ini.

1.       Apa sih kekerasan Rumah Tangga itu?
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama permpuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1)

2.       Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi (Pasal 2 ayat1):
a.       Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b.      Orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan besa); dan/atau
c.       Orang yang bekerja membanu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (pekerja Rumah Tangga)

3.       Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam Rumah Tangga?
Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a.       Kekerasan fisik;
b.      Kekerasan psikis;
c.       Kekerasan seksual; atau
d.      Penelantara Rumah Tangga.

4.       Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6)

5.       Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemauan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7)

6.       Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual?
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (Pasal 8):
a.       Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

7.       Apa yang dimaksud dengan penelantaran Rumah Tangga?
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, atau pemeliharaan kepada orang tersbut, selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi da/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Pasal 9).

8.       Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?
Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (Pasal 10):
a.      Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.      Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.       Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.      Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hokum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan
e.      Pelayanan bimbingan rohani.

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (Pasal 39):
a.       Tenaga kesehatan;
b.      Pekerja social;
c.       Relawan pendamping; dan /atau
d.      Pembimbing rohani.

9.       Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?
Ya, melalui Undang-Undang ini pemerintah bertenggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itu pemerintah harus (Pasal 12):
a.       Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b.      Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c.       Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.      Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard an akreditasi pelayanan yang sensitive jender.

Selain itu, untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a.       Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b.      Penyediaan aparat, tenaga ksehatan, pekerja social dan pembimbing rohani;
c.      Pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d.      Memberikan perlindungan bagi pendamping saksi, keluarga, dan teman korban.
10.   Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap oaring yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (Pasal 15):
a.       Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.      Memberikan perlindungan kepeda korban;
c.       Memberikan pertolongan darurat; dan
d.      Membantu proses pengajuan permohon penetapan perlindungan.

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (Pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan surat kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (Pasal 16 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (Pasal 27)

11.   Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai pasal 44-pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindakan kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahaan UU ini, bab mengenai ketentuen pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikwatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya  melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana  penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban  mendapat luka yang tidak memberi harapan akan  sembuh sama sekali, mengalami gangguan  daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama  4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak  berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit  Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling  banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

12.   Bagaimana mengenai pembuktian kasus kekerasan dalam rumah tangga?
Dalam UU ini dikatakan bahwa Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban sajasudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (Pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a.       Keterangan saksi;
b.      Keterangan ahli;
c.       Surat;
d.      Petunjuk;
e.      Keterangan terdakwa.